Selasa, 10 Juli 2012

temen temenku wisudawan ( DEVI )







ISTIKHAROH CINTA

Kaedah-Kaedah Ushuliyah


PEMBAHASAN
PENGERTIAN LAFADZ AM, KHOS, AMAR DAN NAHI 
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’iy. konteks Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut bisa  berupa lafadz umum  atau khusus.
Lafadz yang umum atau al-‘aam, ketetapan hukumnya harus diartikan pada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan Ulama Jumhur (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah dan Hanafiyyah).
Pembahasan tentang dalil takhsis (yang menghususkan) lafadz ‘am insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis. Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain.
Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya.
Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehannya.
A.      LAFAZD AL-‘AAM
A. 1.Definisi al-‘aam [2]
Lafadz al-‘aam ialah yang menunjukkan tercakup dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut. Lafadz  ﻤﻥﺃﻠﻗﻰ  (barang siapa melemparkan) dalam hadits yang berbunyi:
ﻤﻥ ﺃﻠﻗﻰ ﺴﻶﺣﻪ ﻓﻬﻭﺁ ﻤﻥ  adalah lafadz umum yang dapat menunjukkan tercakupnya setiap orang yang melemparkan senjatanya, tanpa membatasi kepada perseorangan tertentu.
Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang di dalamnya tercakup semua satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu satuan seperti seorang laki-laki, atau dua satuan seperti seperti dua orang laki-laki, atau kelompok beberapa satuan seperti yang dapat dihitung seperti beberapa laki-laki, sekelompok kaum, seratus atau seribu, maka semua itu bukan termasuk lafadz yang umum.
Terdapat perbedaan antara al-‘Aam dan al-Muthlaq, al-‘Aam menunjukkan tercakupnya semua satuan dari seluruh satuannya, sedangkan al-Muthlaq hanya menunjukkan satuan atau beberapa satuan yang menonjol, bukan kepada semua satuannya. Sebagaimana pendapat para ulama ushul : ﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻌﺎﻡ ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲ  “keumuman al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif (mewakili). Jadi, lafadz al-“Am dapat memperoleh satuan-satuan di dalamnya sekaligus dan al-Muthlaq hanya memperoleh satuannya yang menonjol. [3]
A. 2. Lafadz-lafadz al-‘am
Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘Aam, diperlukan pehaman mendalam terhadap gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi pararel (shorf) dan sintaksis pararel (nahu). Dari situ akan diketahui maksud dan  tujuan  nash  apakah  arahannya umum atau khusus. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa mengetahui bahasa arab adalah 50% mengetahui ilmu ushul fiqh. Patutkah orang yang tidak memahami gramatika bahasa arab menjadi mujtahid?
Hasil analisa dan pengkajian terhadap mufrodat dan ungkapan dalam bahasa arab menyimpulkan beberapa lafadz yang arti bahasanya menunjukkan keumuman dan mencakup keseluruhannya. Dari beberapa referensi buku ushul fiqh yang ada, tidak ada perbedaan pendapat mencolok dalam penjelasan lafadz-lafadz al-‘am tersebut. Di bawah ini secara singkat akan dipaparkan pengklasifikasian lafadz-lafadz ‘am yang sering dipergunakan:
  • Lafadz-lafadz yang bermakna jamak, seperti;
كلّ                   : كل امرئ بما كسب رهين
جميع               : خلق لكم ما فى الأرض جميعا
كافّة                : وقاتلواالمشركين كافة كما يقاتلونكم كافة
معاشر             : نحن معاشر الأنبياء لا نورث
  • Lafadz-lafadz jamak atau mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya;
  • إنّ الله يغفرالذ نوب جميعا
  • يوصكم الله فى أولاد كم
  • والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
  • هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته
  • Isim nakirah yang dinafikan (dicegah) atau yang disyaratkan, sEperti contoh;
لاإكراه فى الدين
ولا تصلّ على أحد منهم مات أبدا
Isim nakirah yang mutsbat (ditetapkan), tidak mengandung pengertian umum seperti yang terdapat dalam ayat إنّ الله يأمركم أن تذبحوابقرة kecuali bila terdapat qorinah (tanda), contohnya لهم فيها فاكهة ولهم مايدّعون
  •  beberapa isim maushul, di antaranya;
ما             : وما من دابّة فى الأرض إلا على الله رزقها
من            : فمن كان منكم مريضا
الذين         : إنّ الذ ين يأكلون أموال اليتامى ظلما
الللائى       : واللائى يئسن من المحيض من نسائكم
اللاتى         : واللاتى يأتين الفاخشة من نسائكم
أولات         : وأولات الأحمال لأجلهنّ أن يضعن حملهن
  • Isim-isim syarat, beberapa di antaranya;
من            : من شهد منكم الشهر فليصمه
ما             : وما تنفقوا من خير يوفّ اليكم
أي             : أيّما تدعو فله الأسماء الحسنى
أينما           : أينما تكونوا يدرككم الموت
إن              : إن كنتم فى ريب مما نزّلناعلى عبد نا فأتوابسورة من مثله
  • Isim isim istifham, sebagaimana dalam contoh-contoh berikut:
من              : من فعل هذا بألهتنا يا إبراهيم
ماذا             : ماذا أراد الله بهذا مثلا
متى             : متى نصر الله
أين              : أين ما كنتم تدعون من دون الله
Semua lafadz-lafadz dalam contoh di atas dipergunakan untuk pengertian yang bersifat umum karena mencakup setiap kesatuan yang ada di dalamnya, jika ada lafadz ‘am tetapi tidak mengandung sebuah keumuman maka lafadz itu adalah bentuk aligori (majazi) yang keberadaannya membutuhkan qorinah. Khusus mengenai permasalahan ini insya Allah akan dibahas secara panjang lebar dalam makalah selanjutnya tentang Majaz dengan penjelasan  jelas yang menjelaskan sejelas-jelasnya sampai jelas dan tidak membutuhkan kejelasan yang lebih jelas.
A. 3. Al-‘am yang ditakhsis (dikhususkan)
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz Aam. Mukhassis adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut.      Dengan melihat keterangan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalil Aam tetap berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjukkan oleh mukhassis. Kaidah untuk itu adalah العام بعد التخصيص حجّة فى الباقى Lafadz Aam setelah ditakhsiskan masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya”.
Dalam hal mukhassis nash syar’iy maka antara yang ditakhsiskan dan pentakhsisnya haruslah sederajad seperti Al Qur’an dengan Al Qur’an atau Al Qur’an dengan As sunnah Mutawattirah. Demikian pula As sunnah shahihah dengan As sunnah Shahihah. Namun demikian jumhur ulama membolehkan mentakhsis Al Qur’an dengan As sunnah walaupun ahad, tetapi ulama hanafiah berpendapat hanya As sunnah Mutawattirah atau yang masyhur saja yang boleh mentakhsis Al Qur’an.
Sebagian ulama seperti Hanafiyyah mensyaratkan adanya mukhassis harus muqarinan lil’am (bersamaan dengan Aam). jika tidak, maka namanya nasikh bukan mukhassis, juga harus mustaqil (tersendiri) dari ‘am. Pengkhususan seperti ististna yang datang setelah lafadz ‘am menurut mereka bukan mukhassis, tetapi dalil adanya pembatasan keumuman.
Pendapat ulama Jumhur berbeda dan tidak mensyaratkan dua hal di atas. Jadi,  mukhassis  bisa berupa dalil mustaqil atau ghoir mustaqil, bersamaan dengan nash ‘am (muqarinan linnasshil ‘am) atau tidak, tetapi semuanya dengan catatan tidak datang setelah pengamalan keumuman, bila datangnya setelah pengamalan  namanya nasikh.
Berikut ini pembagian dalil mukhassis menurut ulama Jumhur; Dalil-dalil yang mengkhususkan ada dua macam; Pertama muttashil, yaitu dalil yang keberadaannya bersamaan dengan ‘am, masih ada kaitan makna juga  bagian dari ‘am. Kedua dalil munfashil, kebalikan dari yang pertama.
Mukhassis munfashil atau mustaqil (sempurna dengan dirinya sendiri),ada empat macam:
1)      Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan bersambung dengan kalimat, seperti firman Allah:
(من شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة: ١٨٥
Setiap orang yang berada di bulan Ramadhan wajib berpuasa, tetapi di kecualikan orang sakit dan musafir, dengan dalil ayat sesudahnya;
ومن كان مريضا أوعلى سفر فعدّة من أيّام أخر
2)      Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan kalimat itu.
Contohnya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai ,  حرّمت عليكم الميتة. Tetapi dikhususkan bangkai binatang laut, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi هوالطهورماؤه الحلّ ميتته
3)      Al-‘aqlu (nalar).
Akal bisa di jadikan dalil takhsis pada semua nash yang mengandung tuntutan syar’iyyah. Contohnya perintah mengerjakan shalat dalam ayat أقيمواالصلاة , keumumannya di takhsis oleh akal dengan mengecualikan anak kecil dan orang-orang gendeng. Contoh lainnya الله خالق كلّ شيئ ,كتب عليكم الصيام dan lain-lain.
4)      Adat dan uruf.
Point keempat ini adalah menurut madzhab Malikiyyah. contohnya sabda Rasulullah Saw.:
لاقطع إلاّ فى ربعِ د ينار “ Artinya: “Tidak dikenakan hukum potong tangan kecuali (hasil curian itu sampai) seperempat dinar.
Bagaimana dan berapa harga tukar (kurs) dinar itu bagi Negara-negara yang tidak memakai dinar sebagai alat pembayaran yang sah diserahkan kepada uruf atau adat setempat.
Mukhassis muttashil, dalil yang merupakan bagian dari nash disebut  ghair mustaqil  (tidak bisa berdiri sendiri). Juga ada empat macam;
1)      Ististna, seperti dalam ayat
من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئنّ بالإيمان.النحل 106
Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia pasti mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir sedangkan hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)
2)      Kata sifat, seperti Firman Allah:
ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات قمن ما ملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنات. النساء:٢٥
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. (An nisa’:25)
Lafadz fatayaat adalah Aam yang dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan kata sifat al mukminat (yang beriman) maka hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk lagi.
3)      Syarat, sebagaimana Firman Allah:
وبعولتهنّ أحقّ بردّهنّ فى ذ لك إن أرادوا إصلا حا.  البقرة 228
Artinya: Dan suami mereka berhak merujuki mereka jika mereka (suami istri) itu menghendaki islah (Al Baqarah :228)
4)      Ghoyah, ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang disebut sebelumnya sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada hukum tersebut. Lafadz ghoyah adakalanya memakai hatta atau ilaa.
Contohnya Firman Allah Swt.
وما كنّا معذّ بين حتّى نبعث رسولا.     الإسراء 15
Artinya: Dan kami tidak akan mengazab (menyiksa) sehingga kami mengutus seorang Rasul. (Al Isra’ :15) [4]
A. 4. Dalalah al-‘am
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan.  Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
A. 5. Pembagian al-‘amm
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
1)      ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman, sebagaimana firman Allah:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا. )هود :٦ )
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya”.
2)      ‘Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ.  ال عمران 98
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
3)      ‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya, contoh;     والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروءperempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”. Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum. [5]
B.      LAFAZD AL-KHASH
B. 1. Definisi al-khash
Lafadz khas adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti “Mushtofa”, satuan jenis seperti “laki-laki”, atau beberapa satuan yang terbatas seperti “seratus, seribu”, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup satuan-satuan tersebut. [6]
B. 2. Hukum Khash
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’iy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy (قطعى ) bukan dhonny ( ظنّى) contohnya:
والمطلقات يتربَّصنَ بِأنفسهنّ ثلاثة قروء  . البقرة 228
Artinya: “Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (Al Baqarah : 228).
Lafadz tiga di situ adalah khash dan maknanya qath’iy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlak tanpa ada batasan/ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contoh: إتقو الله  (bertakwalah kepada Allah). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولا تجسّسوا  (dan janganlah kamu memata-matai). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan, perintah dan larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan.Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum qoth’iy dari lafadz khash.
C.      LAFAZD AMAR
C. 1.    Pengertian Amar
Perintah (amar) adalah permintaan lisan untuk melakukan sesuatu yang keluar dari orang yang kedudukanya lebih rendah.1 Perintah menurut pengertian ini berbeda dari permohonan (do’a) dan ajakan (iltimas). Karen a yang disebut pertama merupakan permintaan dari orang yang kedudukanya lebih rendah kepada orang yang kedudakanya lebih tinggi. Sementara ajakan permintaan diantara orang yang seterusnya sejajar/ hampir sejajar. Perintah lisan menimbulkan makna yang berbeda-beda yaitu wajib, sunnah bahkan mubah.
Ada yang berpendapat bahwa amar hanya mencakup dua diantara tiga konsep tersebut, yaitu wajib dan sunnah. Sedangkan ada pendapat untuk melakukan sesuatu dan ini makna amr yang paling luas yang sama dengan ketiga konsep diatas. Adapun arti amar الاصل في الامر للوجوب (arti yang pokok dalam amru adalah menunjukkan wajib) wajibnya perbuatan yang di perintahkan atau لفظ يرد به ان يفعل الماءمور ما يقصد من الامر (lafaz yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan).
C. 2.    Macam-Macam Amar
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari makna yang asli dan di gunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat diketahui dari susunan perkataan, antara lain:
1.         Ijab (wajib)      اقيم الصلوة
2.         Nadab (anjuran)                     “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”. (QS An nur : 33)
3.         Takdib (adab)
  كل مما يليك ( رواه البخاري و مسلم )
“makanlah apa yang ada di depanmu”
4.         Irsyad ( menunjuki)                “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu) (QS Al Baqarah : 282)
5.         Ibahah (membolehkan)          “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”(QS AlBaqarah : 187)
6.         Tahdid (ancaman)                  “Kerjakanlah apa yang akan kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa ynag kamu kerjakan”.(QS Fussilat : 60)
7.         Inzhar (peringatan)                “Katakanlah : bersukarialah kamu, karena sesunggunya tempat kembalimu adalah neraka”.(QS Ibrahim : 30)
8.         Ikram (memuliakan)              “Dikatakan kepada mereka : masuklah kedalamnya dengan sejahtera lagi aman”.(QS Hijr : 46)
9.         Taskhir (penghinaan) “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”(QS Baqarah : 65)
10.       Ta’jiz melelahkan                   “Datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama al qur’an itu”(QS Baqarah : 23)
11.       Taswiyah (memersamakan)  “…maka bersabarlah atau tidak…”(QS Ath thur : 16)
12.       Tamanni (angan-angan)         
 Wahai siang malam ! memanjanglah
Wahai kantuk ! menghilanglah
Wahai waktu subuh ! berhentilah terlebih dahulu
Jangan segera datang

 
13.Do’a (berdoa)                                “Ya Allah ampunilah aku”(QS As Shod : 35)
14.Ihanah (meremehkan)                  “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”.(QS Ad Dukhon : 49)
15.Imtinan
C. 3.  Ciri-Ciri Amar
Ciri-ciri amar antara lain :
a.         Fi’il amar
b.         Isim fi’il amar
c.         Kemasukan lam fi’il
d.         Masdar yang menduduki tempatnya isim fi’il amar.
4.         Dilalah Dan Tuntutan Amar
a.         Menunjukkan wajib, seperti yang dijelaskan oleh Dr Zakariya Al Bardisy bahwa :
ذهب الجمهور الي ان الامر يدل علي طلب الماءمور بهعلي سبيل الوجوب ولا يصرف عن اقادة الوجوب الي غيره الا اذ وجدت قرينة تد علي ذالك
Artinya : Jumhur ulama’ sepakat mengatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan yang secara mutlak selama tidak ada qurinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut.
a.         Juga berdasarkan الاصل في الامر للوجوب arti pokok dalam amr ialah menunjukkan wajib (wajibnya) perbuatan yang diperintahkan.
[ Contoh 1, QS : Al A’raf : 12 ] dan [ Contoh 2, QS : Al Baqoroh : 34 ]
Ayat pertama bukan di tunjukkan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap iblis karena engggan bersujud kepada adam tanpa alasan, ketika iblis diperintah sujud.
Ayat kedua , yaitu perkataan sujudlah (usjudu) dengan tidak diserta qorinah menunjukkan kemestian/ keharusan.
b.         Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah   الاصل في الامر للندب
Arti pokok dalam amar / suruhan itu adalah menunjukkan anjuran (nadab)
Suruhan adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti sholat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab) seperti sholat dhuha.
C. 4.  Tuntutan Dalam Amar
1.         Amar tidak menghendaki perulangan
Contoh : sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (QS : Al Baqarah : 196)
Yang mengikuti kaidah الاصل في الامر لا يقتضي التكرار
“bermula suruhan tidak menghendaki berulang-ulang” (berulang-ulang pekerjaan yang di tuntut)
Kewajiban haji dan umrah hanya saja selama hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja sudah cukup.
2.         Amar mengehendaki perulangan
الاصل في الامر يقتضي التكرار مدة العمر مع الامكان
“Bermula suruhan, menghendaki berulang-ulang perbuatan (yang diminta) selama masih ada kesangupan sselama hidup.
3.         Amar tidak menghendaki berlaku segera
الاصل في الامر لا يقتضي الفور
“Bermula suruhan tidak menghendaki kesegeraan”
Karena itu, boleh ditunda mengerajakanya dengan cara yang tidak akan melalaikan pekerjaan yang diperintahkan.
4.         Amar menghendaki berlaku segera
الاصل في الامر يقتضي الفور
“Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”
5.         Amar sesudah nahi (larangan)
الامر بد النهي يفيد الاباحة
“Suruhan setelah larangan berarti boleh”
Contoh : Al Maidah : 2 dan : Al Maidah : 95
D.      LAFAZD NAHI
D. 1.  Pengertian Nahi
Nahi adalah lafal yang menunjukkan tuntutan untuk meningggalkan sesuatu (tuntutan yang masih dikerjakan) dari atasan kepada bawahan. Atau nahi adalah ungkapan yang meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi yang dikeluarkan oleh orang yang kedudukanya lebih tinggi kepada orang yang kedudukanya lebih rendah [7]. Larangan seperti halnya perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna pokok dari nahi adalah keharaman, atau tahrim tetapi nahi juga digunakan untuk sekedar menyatakan ketercelaan (karohiyah) / tuntutan (irsyad) atau kesopanan (ta’dib) dan permohonanan (do’a).
Oleh karena itu nahi membawa berbagai makna, maka para ulama’ berbeda pendapat tentang manakah diantara makna – makna ini yang merupakan makna pokok (hakiki) sebagai lawan dari makna sekedar atau makna metaforisnya [8]. Adapun tujuan dari suatu larangan adalah adalah perbuatan maka tidak diperbolehkan mengguakan sifat yang tidak berhubungan dengan esensi dari perbuatan itu.
Arti pokok antara lain :
 الاصل في النهي للتحريم
“ Bermula larangan itu menunjukkan haram” (haramnya perbuatan yang diarang)
الاصل في النهي للكراهة
“Bermula larangan itu menunjukkan benci “Makruhnya perbuatan yang dilarang”
D.2.   Macam-Macam Nahi
Bentuk nahi kadang-kadang digunakan untuk beberapa arti (makna) yang asli yang dapat diketahui dari susunan perkataan:
1.         Makruh لا تصلوا في اعطات الابل (رواه احمد والترمذ )) “Janganlah sholat di kandang onta”
2.         Do’a (Al baqarah : 282)    ربنا ولا تؤاخذنا ان نسينا او احطاءنا
3.         Iltimas
Contoh : Syair Abu Taiyib
“Jangan engkau ampaikan kepadanya (saifuddaulah) apa yang saya katakan, karena ia seorang pemberani. Manakala disebutkan tikaman, tentu ia akan merindukanya (ingin berperang)”
4.         Irsyad (Al Maidah : 101)
“janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu”
5.         Tahdid (ancaman )
contoh : Perkataan seseorang kepada pelayanya, tak usah kamu turuti perintahku.
6.         Tai-is (memutus asakan) Al Tahrim : 7 ولا تعتدوا اليوم
“Janganlah minta ampun pada hari ini (hari kiamat)”
7.         Tanbikh (menegus)
Contoh : (syair, khansa, merapi saudaranya)
“Wahai kedua mataku, bermurahlah ! jangan kikir ! mengapa engkau tidak menangis Shahrunnada”
8.         Tamanni (berangan-angan) يا ليل طل يانوم زل # يا صبح قف لا تعطل
“Wahai malam panjanglah, wahai tidur lenyaplah, wahai sudah berhrnti dulu, jangan terbit” [9]
D. 3.  Dalalah Dan Tuntutan Nahi
Para ulama’ ushul sepakat bahwa dalalah nahi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali ada kata qarinah. [10], Larangan terbagi menjadi dua macam, yaitu larangan yang mutlak dan larangan yang terbatas (muqayyad). Larangan yang mutlak adalah larangan yang tidak terbatas kepada suatu waktu
  الاصل في النهي المطلق يقتضي الدوام
“Bermula larangan yangmutlak menghendaki ditinggalknya perbuatan selamanya”.
Dalam larangan yang mutlak larangan berlaku untuk seterusnya, untuk selamanya.[11]
Contoh larangan mutlak
QS Isra : 33 Contoh larangan muqayyad : QS. An nisa : 43. Hadis : اذا اقبلت الحيضة فدعي الصلاة
“Apabila datang haid maka tinggalkan sholat”
a.         Perintah sesudah larangan
Setelah memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan, ternyata bahwa perintah sesuah larangan itu menunjukkan boleh (mubah), terkecuali jika ada nash yahg menegaskan kefardhuannya.
b.         Suruhan tidak menghendaki berulang kali di kerjakan.
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya orang disuruh uitu berulang-ulang mengerjakanya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja mengerjaknaya.
c.         Suruhan tidak menghendaki segera dikerjakan
Suruhan yang di qaidkan dengan waktu akan gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan dalam waktu nya.
 

Takhsis Mukhassis


1.         TAKHSIS ( التخصيص )/ PENGKHUSUSAN.

Takhsis adalah suatu lafadh/ kalimat yang membatasi pengertian umum dari satu kalimat.
Takhsis kadangkala menggunakan :
• Pengecualian / Istitsna (الا ) seperti::
الا ان تكون تجارة حاضرة
“…….kecuali jika jual beli itu dilaksanakan secara dagang tunai…..” Surat Al-Baqoroh 282.

• Syarat, (ان)seperti :
فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة ان خفتم
“…….maka tidak ada dosa bagi kalian untuk meringkas sholat apabila kalian takut…” Surat Annisa’ 101.

• Menambahkan kata keterangan sifat, seperti :
.....من نساءكم التي دخلتم بهن
“……dari istri istri kalian yang telah kalian gauli…..” Surat Annisa’ 23.

• Batasan / Alghooyah,(الي- حتى) seperti :
....وايديكم الى المرافق
“ (dan basuhlah) tangan tangan kalian sampai kesiku…..” Surat Alma’idah 6..

ولا تقربوهن حتى يطهرن
“..Dan jangan kalian dekati istri- istrimu itu sampai mereka suci,,(Al- Baqoroh 222)

2.         TAKHSIS MUTTASIL dan TAKHSIS MUNFASIL.

Disamping bentuk bentuk Takhsis yang sudah disebutkan diatas, dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama (Takhsis Muttasil),
Adapula takhsis yang berada dalam kalimat yang lain/ terpisah. Takhsis ini disebut Takhsis Munfasil. Seperti kalimat : “ Para wanita yang diceraikan, mereka menunggu iddah mereka selama tiga kali sucian”. Surat al-Baqoroh 282.

Kalimat tersebut bersifat umum (Am) untuk seluruh wanita yang diceraikan. Namun ternyata ayat tersebut ditakhsis dengan ayat lain pada Surat AlAhzab 49 tentang para wanita yang dicerai sebelum sempat digauli suaminya yang berbunyi : “ Hai sekalian orang beriman, jika kalian menceraikan wanita wanita sebelum sempat kalian gauli, maka tiadalah bagi kalian menunggu iddah perempuan perempuan yang diceraikan itu yang kamu minta untuk menyelesaikannya”.
Maka sesuai dengan dari mana datangnya sebuah Takhsis Munfasil, maka Takhsis jenis ini diurai menjadi beberapa macam, yaitu :

          Takhsis Al-Qur’an dengan Al- Qur’an, (seperti contoh diatas.)
          Takhsis Al- Qur’an dengan Sunnah,

Seperti firman Allah :” Allah mewasiyatkan kepada kalian bahwa bagian waris anak anak kalian ialah bagi seorang anak laki laki mendapatkan dua bagian anak anak perempuan“.Annisa’ ayat 10. Ayat ini mengandung arti umum (Am) untuk semua anak, baik anak itu seagama atau tidak.
Ayat ini ditakhsis dengan dua buah hadist sohih yang berbunyi:

1.         Seorang muslim tidak mewarisi (harta) si kafir, dan seorang kafir
            tidak mewarisi (harta) si muslim”.
2.         Dan hadist yang berbunyi: “ Kami para Nabi tidak mewariskan (harta)”.
          Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an,
Seperti bunyi sebuah hadist: “ Allah tidak menerima sholat salah satu dari kalian apabila berhadast, sampai ia berwudu”. Hadist sohih ini ditakhsis dengan firman Allah : “ Maka apabila kalian tidak menemukan air, maka bertayamumlah kalian dengan debu yang suci dan baik”.
Annisa’ ayat 4 2.

Sedang hadist hadist yang menerangkan masalah tayamum, baru disabdakan Nabi setelah turunnya ayat ini..

           Takhsis Sunnah dengan Sunnah.
Seperti hadist Nabi yang Sohih : “ Dalam (hasil pertanian) yang diairi dari air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh”. Kalimat yang dipakai disini bersifat umum (Am), baik hasil pertanian itu sedikit atau banyak. Hadist ini ditakhsis dengan hadist sohih yang lain, yang berbunyi: “ Tidak ada kewajiban zakat bagi hasil pertanian dibawah lima ausuq”.

          Takhsis dengan Qiyas. (التخصيص بالقياس)
Contohnya adalah firman Allah yang menyatakan bahwa hukuman bagi hamba sahaya
wanita yang berbuat asusila adalah separoh dari hukuman para wanita merdeka. Tidak
ada satu ayat dan hadist pun yang menerangkan bagaimana hukuman bagi hamba sahaya laki-laki. Maka hukuman bagi kaum lelaki yang melanggar susila secara umum, ditakhsis bahwa untuk sahaya laki- laki di qiyaskan dengan hukuman bagi hamba sahaya wanita.
.
          Takhsis dengan akal. ( التخصيص بالعقل ).
Takhsis dengan akal ini boleh untuk hal hal yang tidak berhubungan dengan suatu hukum. Sebagai contoh adalah firman Allah : “ Allah adalah pencipta segala sesuatu”. Surat Arro’du 16. Maknanya adalah hakekat segala sesuatu itu wujud dari Daya Cipta Allah, walau secara tidak langsung. Seperti wujud sebuah mesin, adalah ciptaan manusia. Tetapi pada hakekatnya Allah lah yang dengan kekuasaannya menyebabkan seseorang mampu membuat sebuah mesin.

          Takhsis dengan rasa pemahaman.( التخصيص بالحس )
Seperti halnya Takhsis dengan akal, takhsis ini juga berlaku untuk kasus kasus non hukum.
Seperti firman Allah dalam Surat Annaml 24: “ Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang menguasai mereka (sebagai ratu) dan dia telah dikurniai segala sesuatu, dan padanya ada tahta yang agung”. Dalam ayat ini seakan semua kerajaan adalah hanya milik dia, tetapi kenyataan bahwa ada banyak kurnia yang lebih besar yang dimiliki Nabi Sulaiman.

           Takhsis dengan kalimat sebelumnya ( التخصيص بالسياق ).
Seperti firman Allah dalam Surat Al- A’rof 162: “ Dan tanyakan pada mereka tentang sebuah desa yang berada didekat laut “. Berdasar kalimat sebelumnya, yang dimaksud dengan desa itu adalah para penduduknya, seperti dalam firman Allah: “ Yaitu tatkala penduduk desa itu melanggar larangan Allah dihari Sabtu”.