Rabu, 04 Juli 2012

masjid demak

islam di demak 


 











Gambar : Suasana Sekitar Menara Kudus


 
Arsitektur Islam di Jawa, pada hakikatnya, tidak terlepas dari keberadaan kebudayaan dan tradisi yang sudah ada sebelum Islam masuk di wilayah ini. Tidak mengherankan, bila di masa-masa awal masuknya Islam di tanah Jawa, bentuk-bentuk masjid masih menggunakan gaya arsitektur tradisional yang cenderung bernuansa Hinduisme. Itu tampak seperti pada penggunaan atap tajuk dan pemakaian mustaka pada puncak atapnya. Bahkan, pada beberapa masjid, ada yang memiliki pendopo di depan masjid atau serambi masjid.

Tidak itu saja. Masuknya Islam ke Jawa juga berkaitan dengan kekuasaan raja-raja masa itu sehingga menghasilkan bangunan masjid yang cukup megah pada zamannya dengan kekhasan tersendiri. Perpaduan itu tampak, misalnya, dari bangunan masjid yang ada dalam lingkungan keraton. Umumnya, sebuah kerajaan Islam memiliki keraton yang berdampingan dengan masjid.

Pertimbangan memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa. Apalagi, dalam sejarahnya, pada awal perkembangan agama Islam di Jawa, penyebaran Islam dilakukan dengan proses selektif tanpa kekerasan sehingga sebagian nilai-nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan.

Ajaran Islam yang masuk tanpa kekerasan dan bersifat terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama yang telah ada memengaruhi wujud dalam arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid. Karena itulah, bangunan-bangunan masjid yang ada dipengaruhi oleh faktor sejarah, latar belakang kebudayaan daerah, lingkungan, serta adat istiadat masyarakat setempat.









 

Gambar :Masjid Demak



Konon, sebelum membangun Masjid Demak, Sunan Kalijaga berdiri di tengah lahan tempat masjid akan didirikan sambil merentangkan tangan. Tangan kirinya tertuju ke arah bumi dan tangan kanannya ke arah kiblat. Sikap ini dilakukan bukan tanpa maksud. Ia berkeinginan bahwa dalam berarsitektur harus memerhatikan kaidah atau nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah baru yang akan dimasukkan. Maklum, saat itu telah ada kaidah Hindu dan Buddha. Kaidah Islam merupakan kaidah baru yang akan dimasukkan. Kaidah-kaidah inilah yang dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur Islam.

Masjid Agung Demak di Jawa Tengah mempunyai nilai historis cukup penting yang berkaitan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa. Legenda-legenda muncul dari sejarah perkembangannya yang kemudian menempatkannya pada kedudukan yang keramat bagi masyarakat yang meyakininya. Bangunan masjid ini berdiri di atas lokasi sekitar alun-alun Kota Demak. Wujud arsitekturalnya menunjukkan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayan Hindu saat itu. Atap bangunannya runcing ke atas dengan tiang-tiang penopang yang besar dan tinggi. Motif-motif hias tiang bangunannya tampak berhubungan dengan kebudayaan Majapahit.













Gambar : Masjid Dan Menara Kudus




Demikian pula dengan Masjid Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi. Menara masjid yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, ini berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit. Pembauran kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Islam tampak jelas. Wujud bangunan menara dan adanya wujud bangunan candi inilah yang berasal dari kebudayaan Hindu. Ciri bangunan Hindu lebih dipertegas dengan konstruksi bangunan yang tersusun dari bahan batu bata dengan pola bangunan kepala (mahkota)--badan kaki, sedangkan ciri bangunan Islam adalah masjid sebagai bangunan induknya.

Penampilan keseluruhan masjid ini merupakan satu kesatuan dalam satu kompleks bangunan. Padahal, ada kalangan yang menilai bahwa usaha mempersatukan unsur Hindu dan Islam pada Masjid Menara Kudus tidaklah dilakukan melalui seleksi ketat sehingga tampak kurang adanya kesan saling mendukung antara bentuk yang satu dan bentuk yang lainnya. Hal ini menyebabkan masjid tersebut secara arsitektural tidak terlihat kesan menyatu antara unsur candi, bentuk gerbang yang bercorak Majapahit, dan bentuk kubah masjid yang menjadi ciri arsitektur Islamnya.

Dalam perjalan waktu, perpaduan budaya masih tetap mewarnai arsitektur Islam di Jawa. Hingga kini, bangunan masjid--yang kerap dimanifestasikan sebagai arsitektur Islam--tidak terlepas dari perpaduan budaya setempat dengan budaya lainnya. Itu bisa dilihat dari bangunan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 November 2006.

Arsitektur masjid yang terletak di Jalan Gajah Raya, Semarang, ini merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Arab, dan Yunani.

Konsep bangunan tersebut menggabungkan arsitektur Jawa, Islam, dan Roma. Pemilihan warna ataupun penataan interior masjid dirancang dengan bentuk dan hiasan yang didominasi oleh pengaruh dua budaya: Jawa dan Islam. Bentuk kubah, lengkungan, geometri bintang delapan, dan kaligrafi yang ada dalam masjid mencerminkan budaya Islam.

Masjid yang mampu menampung 15.000 jamaah ini mempunyai konsep yang diterjemahkan dalam tradisi
candra sengkala. Pesan dalam candra sengkala yang dipadu dalam kalimat "Sucining guna gapuraning gusti" (4391-1934 Jawa atau 2001 tahun Masehi Miladiyah) menandai awal terbesitnya niat untuk mulai membangun masjid mutiara tanah Jawa itu.

Ditinjau dari segi arsitekturnya, bangunan masjid ini meneladani prinsip gugus model kluster dari Masjid Nabawi di Madinah. Bentuk penampilan arsitekturnya merupakan gubahan baru yang mengambil model dari tradisi masjid para wali dengan membubuhkan corak universal arsitektur Islam pada bangunan pusatnya dengan menonjolkan kubah utama yang dilengkapi dengan "minaret" runcing menjulang di keempat sisinya.

Adanya perpaduan itu menunjukkan bahwa arsitektur Islam yang selama ini dipahami sebagai arsitektur yang dibangun oleh masyarakat Muslim telah melahirkan bentuk-bentuk yang memiliki karakternya sendiri sebagai cerminan komunitas Muslim. Bagaimanapun, konsentrasi arsitektur pada masa awal perkembangan Islam memang cenderung bernuansa teosentrisme sehingga melahirkan arsitektur yang sangat megah, berupa masjid, istana, makam, atau benteng. Hal itu berlanjut hingga saat ini pada bangunan berarsitektur Islam di Jawa yang memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda dengan bangunan sejenis yang ada di daerah atau di negara lain.

Pengaruh Majapahit pada Arsitektur Islam




















Gambar : Candi Majapahit




Arsitektur bangunan Masjid Agung Demak sedikit banxak dipengaruhi corak budaya Bali yang dipadu dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah. Ini mengindikasikan bahwa pembuatnya adalah arsitek pribumi yang tidak dapat meninggalkan unsur-unsur kebudayaan sendiri di masanya. Bangunan masjid yang terletak di sebelah barat alun-alun ini diperkirakan memiliki kedekatan dari arsitektur zaman Majapahit.

Kedekatan arsitektur Masjid Demak dengan bangunan Majapahit bisa disimak pada bentuk atapnya. Kubah--yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam--malah tak digunakan. Bentuknya justru mengadopsi bangunan peribadatan agama Hindu. Ini merupakan upaya membumikan Masjid Demak sebagai sarana penyebaran agama Islam pada abad ke-15 di tengah masyarakat Hindu.

Bentuk atap yang dipakai adalah tajuk tumpang tiga. Bagian paling bawah menaungi ruangan berdenah segi empat. Atap bagian tengah mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan, atap tertinggi berbentuk limasan dengan tambahan hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip
meru, bangunan tersuci di pura Hindu.

Masjid ini diperkirakan didirikan pada tahun 1477 M atas kerja sama walisanga. Dari tahun pendiriannya, Masjid Demak dianggap sebagai masjid pertama yang berarsitektur atap tumpang. Sebelum kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di Jawa, sudah ada kebudayaan Hindu-Buddha yang mengenal seni bangunan suci. Antara lain, atapnya berbentuk tumpang yang hingga kini masih banyak dijumpai di Bali--disebut bangunan
meru. Kesamaan bentuk atap ini memberikan petunjuk adanya akulturasi antara unsur bangunan kebudayaan Islam dengan Hindu-Buddha pada masa itu.

Arsitektur Masjid Agung Demak tak jauh berbeda dengan arsitektur Masjid Menara Kudus. Menara masjid yang dibangun pada tahun 1549 Masehi ini berbentuk candi yang bercorak Hindu Majapahit. Bentuk ini sulit ditemui kemiripannya dengan berbagai menara masjid lainnya yang ada di seluruh dunia.

Bangunan ini memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen--konon dengan digosok-gosok hingga lengket--dan secara khusus adanya selasar yang biasa disebut
pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.

Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Di bagian puncak atap tajuk, terdapat semacam
mustoko (kepala), seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.

Arsitektur jawa dan Timur Tengah tampak pada bangunan Masjid Agung Jawa Tengah yang dibangun sejak tahun 2001. Masjid yang berlokasi di Jalan Gajah, Semarang, ini berdiri di atas lahan 10 hektare dan memiliki fasilitas yang sangat lengkap, seperti
convention hall (auditorium), souvenir shop, pujasera, gedung perkantoran, perpustakaan, dan menara pandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar